Bayi dan Segenggam Obat Tidur
Redaksi
Cerpen
04 Jul 2024

Suasana di terminal hari itu sedang panas-panasnya. Maklum saja, karena Indonesia sedang mengalami lonjakan suhu akhir-akhir ini. Rencananya aku akan pergi untuk dinas ke luar kota, jadi aku berpikir akan naik transportasi umum saja untuk menghemat uang.
Terminal itu adalah yang terbesar di kota ini, layaknya sebuah terminal pada umumnya. Terminal yang diisi oleh hiruk-pikuk kehidupan. Kernet yang memanggil calon penumpang, sopir bus yang beristirahat, pedagang asongan yang menjajakan dagangannya, serta puluhan pengemis yang meminta sedikit empati untuk sesuap makan.
Seorang ibu muda dengan pakaian compang-camping menghampiriku sembari menyodorkan cup plastik yang ia genggam. “Mbak sedekahnya, Mbak, untuk anak saya,” ujarnya.
Aku tersenyum sambil melirik kearah anak yang berada di gendongannya. “Maaf,” ucapku pelan.
Pengemis itu lantas pergi.
“Kasihan sekali ya, Nak?” tanya seorang Ibu paruh baya yang juga sedang menunggu kedatangan bus berbicara pelan sembari menatap kepergian pengemis itu.
“Betul Bu, memang nasib tidak ada yang tau,” kataku berusaha menjawab dengan sopan.
Beliau berbicara dengan nada sedih. “Oh bukan, saya lebih mengasihani anak kecil yang ada dalam gendongan pengemis tadi. Saya punya cucu juga di rumah, rasanya tidak mungkin anak sekecil itu bisa tertidur di cuaca yang amat terik ini. Apalagi ditambah dengan kebisingan terminal.”
Ah, ternyata aku salah paham, pikirku. Eksploitasi anak memang sudah bukan rahasia umum, banyak sekali pengemis yang sengaja membawa bahkan menyuruh anaknya untuk ikut mengemis. Membawa anak kecil memang menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih banyak, mereka memanfaatkan rasa empati orang orang.
“Benar juga Bu, boro-boro dibawa berkeliling dengan cuaca sepanas ini, keponakan saya bahkan akan mulai rewel apabila kakak saya lupa menyalakan pendingin ruangan,” timpalku sembari mengingat suasana di rumah kakakku yang baru saja dikaruniai seorang bayi.
“Nah, betul Nak. Bahkan mirisnya terkadang anak-anak itu diberikan obat tidur dengan dosis yang tinggi agar mereka tidak rewel saat dibawa ibunya berkeliling.” Sekilas, aku dapat merasakan nada geram dari ucapannya.
Wajar saja, ibu mana yang tidak geram saat mendengar hal tersebut?
Aku lantas teringat beberapa artikel yang kubaca saat senggang kemarin, anak-anak itu bahkan bukan anak mereka. Anak yang kerap kali mereka bawa berkeliling sembari mengemis itu adalah anak sewaan. Mereka disewakan bagai sebuah properti. Dicekoki obat-obatan yang tak semestinya. Tak jarang, orang tua yang harusnya mengasihi mereka malah dengan tega menyuruh mereka untuk mengemis, sedangkan mereka hanya menerima hasil dari anak-anak tersebut.
Aku lanjut mengobrolkan berbagai topik dengan ibu itu, banyak sekali yang kami bicarakan. Obrolan kami baru terhenti saat sebuah bus tiba di terminal yang ramai. Itu bus yang akan aku tumpangi, aku berpamitan pada ibu tersebut sambil merenungkan obrolan kami.
Entah sampai kapan fenomena ini terus berlanjut. Bayang-bayang kemiskinan yang terus mengintai, harga bahan pokok yang terus melambung, biaya pendidikan yang tinggi, serta akses kesehatan yang sulit adalah beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya kemiskinan di Indonesia.
Aku hanya bisa berbisik pelan mendoakan anak anak kurang beruntung itu.
Penulis: INA
Desainer: ESD
Desainer: ESD