Saya tersenyum kecut ketika menonton berita tentang Presiden Prabowo Subianto yang mengumumkan rencana menjadikan bahasa Portugis sebagai prioritas baru di sekolah-sekolah Indonesia. Momen itu terjadi saat pertemuannya dengan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, pada 23 Oktober 2025. Lula tampak antusias, bahkan bertepuk tangan. Tapi di kepala saya muncul pertanyaan sederhana: apa kabar kemampuan bahasa Inggris anak-anak kita yang sudah diajarkan puluhan tahun, tapi masih saja tertinggal?
Momen itu terasa seperti panggung diplomasi yang hangat di permukaan, tapi dingin di dalam. Sebuah gestur politik yang manis untuk menyenangkan tamu negara, namun terasa asing bagi realitas ruang kelas di pelosok negeri. Presiden menyebut kebijakan ini sebagai bukti pentingnya hubungan Indonesia-Brasil. Tapi bagi saya, ini contoh klasik bagaimana pendidikan sering dijadikan alat pencitraan bukan prioritas yang dirancang dari kebutuhan nyata.
Saya sering melihat langsung bagaimana guru-guru bahasa Inggris di sekolah dasar berjuang keras mengajar dengan sumber daya terbatas. Ada yang masih mengandalkan hafalan kata kerja tak beraturan, ada yang sekadar menulis kosakata di papan tulis tanpa konteks percakapan. Padahal dunia pendidikan sekarang menuntut pembelajaran berbasis komunikasi, bukan grammar semata.
Data EF English Proficiency Index (EF EPI) 2024 mempertegas realitas itu. Indonesia berada di peringkat 80 dari 116 negara dengan skor 468, turun dari 473 tahun sebelumnya. Masuk kategori “Low Proficiency”. Artinya, meski sudah puluhan tahun bahasa Inggris diajarkan dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), hasilnya belum juga membanggakan.
Jadi, ketika muncul gagasan menambah bahasa Portugis ke dalam kurikulum, saya merasa aneh. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional utama saja belum bisa dikuasai dengan baik, kenapa tiba tiba kita ingin melompat ke bahasa lain yang bahkan tidak punya peran besar di dunia akademik atau ekonomi global? Rasanya seperti seseorang yang belum bisa berenang tapi sudah ingin menyelam ke laut dalam.
Mari bicara realistis. Guru bahasa Portugis di Indonesia hampir tidak ada. Mungkin hanya segelintir di universitas tertentu. Artinya, kalau kebijakan ini benar-benar dijalankan, pemerintah harus membuka pelatihan besar-besaran, menyiapkan ribuan guru baru, dan menyusun kurikulum dari nol. Itu tidak murah, dan jelas tidak cepat.
Kalau kebijakan ini hanya sekadar basa-basi diplomatik, itu artinya kita sedang bermain-main dengan masa depan pendidikan anak-anak. Saya tidak anti dengan bahasa Portugis. Bahasa itu indah, punya sejarah panjang dan dipakai di 10 negara. Tapi menempatkannya sebagai “prioritas nasional” tanpa fondasi jelas terasa seperti membangun menara di atas pasir.
Kita perlu jujur. Bahasa Portugis bukan bahasa global seperti Inggris atau Mandarin. Jumlah penuturnya sekitar 260 juta orang, jauh di bawah Mandarin yang mencapai lebih dari satu miliar. Dalam konteks perdagangan, teknologi, atau sains, pengaruh Portugis pun sangat terbatas.
Kalau pemerintah ingin membuka jendela dunia bagi siswa, bukankah lebih masuk akal memperkuat bahasa yang sudah relevan secara ekonomi dan akademis? Mandarin misalnya, bisa membuka peluang bisnis dengan China. Atau Arab, yang relevan secara religius dan budaya. Atau justru memperdalam bahasa Indonesia agar kemampuan literasi anak-anak meningkat.
Ada saran dari Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian, agar kebijakan ini diuji coba di Nusa Tenggara Timur (NTT) karena kedekatan historisnya dengan Timor Leste. Menurut saya, ini pendekatan yang lebih masuk akal. Jadikan bahasa Portugis pilihan lokal, bukan kewajiban nasional.
Menariknya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sendiri tampak belum siap. Ia mengatakan bahwa kementeriannya belum membahas hal ini dan akan mengkaji lebih lanjut. Bahasa tubuh yang terlihat dalam pernyataannya tenang tapi waspada seolah menunjukkan ia juga kaget dengan instruksi itu.
Saya tidak menyalahkan beliau. Dalam birokrasi kita, hal seperti ini sudah sering terjadi: keputusan diumumkan lebih dulu di depan kamera, baru setelah itu kementerian disuruh mencari cara untuk mewujudkannya. Padahal pendidikan tidak bisa dikelola dengan logika seremonial seperti itu.
Kebijakan seharusnya lahir dari data dan kebutuhan, bukan dari suasana hati di meja diplomasi. Kalau setiap kunjungan kenegaraan berujung pada kebijakan baru, bisa-bisa kita akan punya bahasa Spanyol, Jepang, atau Korea juga sebagai prioritas hanya karena ingin menyenangkan tamu.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya tahu persis betapa padatnya kurikulum di sekolah. Guru masih disibukkan dengan administrasi, siswa dijejeli berbagai mata pelajaran, dan sistem penilaian terus berubah seiring pergantian kebijakan.
Kita sudah berganti dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 2013 (K13) lalu ke Kurikulum Merdeka. Banyak guru yang belum sepenuhnya beradaptasi, sudah datang perubahan baru lagi. Dalam kondisi seperti ini, menambah satu bahasa asing baru hanya akan memperburuk beban belajar siswa.
Bahasa Indonesia sendiri belum diajarkan dengan efektif. Kemampuan membaca anak-anak kita termasuk terendah di dunia, menurut hasil Programme for International Student Assessment (PISA). Bahasa daerah semakin terpinggirkan. Bahasa Inggris masih jauh dari standar global. Maka pertanyaan pentingnya: apa urgensinya menambah satu bahasa baru sebelum menuntaskan yang sudah ada?
Jujur, saya tidak kaget. Pola seperti ini sudah sering terjadi di Indonesia. Kebijakan diumumkan dengan gegap gempita, tapi tanpa riset yang matang. Menteri, guru, bahkan masyarakat sering baru tahu setelah berita muncul di media. Lalu muncul janji kajian, pilot project, evaluasi, dan akhirnya … sunyi.
Kita sudah melihat pola ini di berbagai bidang. Pendidikan tidak seharusnya ikut-ikutan gaya politik instan seperti itu. Pendidikan butuh arah jangka panjang, bukan kebijakan yang lahir dari momen diplomatik sesaat.
Kalau pemerintah serius ingin memperkuat kemampuan bahasa anak-anak Indonesia, maka langkah paling logis adalah memperbaiki sistem pengajaran yang sudah ada. Perkuat kompetensi guru bahasa Inggris. Ubah metode belajar dari berbasis grammar menjadi berbasis komunikasi. Sediakan ruang praktik, bukan hanya teori.
Bahasa Portugis bisa saja diperkenalkan di sekolah-sekolah tertentu yang punya relevansi, seperti di NTT atau Maluku. Jadikan ekstrakurikuler atau program pilihan, bukan kewajiban nasional.
Kita sering lupa bahwa inti dari pendidikan adalah keseriusan menuntaskan sesuatu sebelum beralih ke hal baru. Seburuk-buruknya sistem pendidikan kita bukan karena kekurangan bahasa asing untuk dipelajari, tapi karena kita tidak pernah benar-benar menuntaskan satu bahasa pun dengan baik.
Saya tidak menolak diplomasi. Hubungan Indonesia dan Brasil tentu penting. Tapi diplomasi seharusnya tidak mengorbankan rasionalitas kebijakan. Saat ruang kelas kita masih kekurangan buku, guru masih kesulitan melatih kemampuan berbicara siswa, dan literasi masih rendah, menambah bahasa baru hanya akan menambah kebingungan.
Pemerintah perlu kembali pada hal mendasar: mendengarkan suara guru, melihat kondisi lapangan, dan merancang kebijakan yang benar-benar bisa dijalankan. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal tepuk tangan di forum internasional, tapi tentang masa depan anak-anak di ruang kelas yang sering kali jauh dari sorotan kamera.
Sumber Referensi:
Detik.com. (2025, 24 Oktober). Arahan Prabowo Minta Bahasa Portugis Diajarkan di Sekolah. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-8175756/arahan-prabowo-minta-bahasa-portugis-diajarkan-di-sekolah
Viva.co.id. (2025, 28 Oktober). Prabowo Mau Bahasa Portugis Diajarkan di Sekolah, Mendikdasmen Akan Kaji. Diakses dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/1857461-prabowo-mau-bahasa-portugis-diajarkan-di-sekolah-mendikdasmen-akan-kaji
Kompas.com. (2025, 25 Oktober). Bahasa Portugis Masuk Kurikulum, Legislator Khawatir Akan Bebani Siswa. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/10/25/18064931/bahasa-portugis-masuk-kurikulum-legislator-khawatir-akan-bebani-siswa
Media Indonesia. (2025, 26 Oktober). Menyoal Bahasa Portugis, Pengamat: Itu Hanya Simbol Hubungan Bilateral, tidak Perlu Ditindaklanjuti Secara Mentah-Mentah. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/824276/menyoal-bahasa-portugis-pengamat-itu-hanya-simbol-hubungan-bilateral-tidak-perlu-ditindaklanjuti-secara-mentah-mentah
Penulis: Saber Roam
Desainer: Deviana Cahya Lestari