Sinopsis
Cerpen ini mengisahkan seorang ayah yang terkena PHK akibat pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Demi menghidupi keluarga, ia diam-diam bekerja sebagai penari di lampu merah, menahan malu dan lelah setiap hari. Sang anak yang tanpa sengaja mengetahui hal itu menyadari betapa besar pengorbanan ayahnya. Meski dunia menertawakan, sang anak melihat ketulusan dan cinta dalam perjuangan itu. Kisah ini menggambarkan kerasnya hidup serta kasih seorang ayah yang berjuang tanpa pamrih.
Cerita Pendek
Sudah hampir setengah tahun ini, rumah kami terasa berbeda. Bukan karena kami jarang bicara, tapi karena setiap kata dari Ayah kini terdengar berat … seolah keluar dengan sisa tenaga terakhir. Dulu, Ayah selalu berangkat pagi dengan kemeja biru muda dan rambut disisir rapi ke samping. Aku masih ingat, setiap kali Ayah bercermin, aku suka menggoda, “Ayah kayak bos besar!”
Dan Ayah akan tertawa, mengacak rambutku sambil berkata, “Doain Ayah beneran jadi bos, ya.”
Tapi itu dulu… sebelum pabrik tempat Ayah bekerja tutup mendadak karena bangkrut.
Sejak hari itu, segalanya berubah. Ayah sering duduk lama di teras, memandangi jalan sambil menyeruput kopi yang cepat dingin. Ibu mencoba menenangkannya, tapi aku tahu, Ayah merasa kalah oleh keadaan. Tagihan menumpuk, harga sembako naik, cicilan rumah belum lunas. Kadang dari kamarku, aku mendengar mereka berbicara pelan di malam hari, tentang uang, tentang utang, tentang hidup yang makin berat.
Aku masih kuliah. Uang bulanan dikirim seadanya, tapi aku tahu, di balik angka yang kecil itu ada perjuangan besar. Karena itu, aku berusaha bantu sebisaku.
Aku bukan siapa-siapa, tapi aku mencoba bertahan dengan cara yang kumampu. Kadang aku menjual makanan kecil buatan sendiri di kampus. Kadang aku buka jasa desain layout lucu, sticker pack, atau akun premium seperti Canva, Netflix, bahkan CapCut. Semua kulakukan diam-diam, bukan untuk kaya, tapi untuk sedikit meringankan beban di rumah.
Setiap kali ada yang beli, aku merasa bangga. Rasanya seperti dunia memberiku ruang kecil untuk tetap berguna di tengah sulitnya hidup yang semakin tidak pasti. Ekonomi negara sedang kacau, lapangan kerja makin sempit. Aku sering baca berita tentang banyak orang di-PHK, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa di antara “banyak orang” itu … ternyata ada Ayahku sendiri.
Suatu pagi, Ayah bangun lebih cepat dari biasanya. Ia mengenakan jaket tua, tas kecil di punggung, dan berkata pelan, “Ayah kerja dulu, ya.”
Aku menatapnya heran.
“Kerja di mana, Yah? Bukannya Ayah belum dapat panggilan?”
Ayah hanya tersenyum samar.
“Rezeki itu nggak selalu harus dicari di tempat yang sama, Nak. Doain Ayah aja.”
Sejak hari itu, Ayah pergi sebelum matahari terbit, dan baru pulang setelah malam menelan langit. Pakaian yang ia kenakan selalu berdebu, tangan dan lehernya bau asap, tapi wajahnya selalu menenangkan. Ibu jarang bicara banyak, hanya berkata:
“Yang penting Ayahmu masih bisa pulang bawa beras.”
Aku tidak curiga. Aku percaya Ayah mungkin sudah dapat kerja serabutan. Aku hanya tidak tahu… pekerjaan seperti apa. Sampai suatu sore, semuanya terjawab… dengan cara yang paling tidak pernah aku harapkan.
Sepulang kuliah, aku naik angkot melewati perempatan besar di pusat kota. Jalanan macet. Dari jendela, aku melihat sekelompok orang tertawa sambil menyorot kamera ponsel ke arah seorang pria di pinggir jalan.
Pria itu berdiri di tengah panas, menari-nari dengan gerakan aneh. Bajunya compang-camping, topi besar menutupi wajahnya. Orang-orang tertawa, beberapa mengolok, beberapa melempar receh.
Aku menatapnya sekilas, mencoba mengabaikan. Tapi pandanganku tertahan saat melihat tas kecil biru di punggungnya. Tas yang sama dengan yang biasa dipakai Ayah setiap berangkat kerja dulu.
Aku menyipitkan mata. Dan saat pria itu menoleh sedikit, aku merasa lututku lemas.
Wajah itu.
Gerak tangan itu.
Itu Ayahku.
Dunia tiba-tiba hening, walau orang-orang di sekitarku tertawa, tetapi suara mereka terdengar jauh, seperti gema di kepala. Ayahku sedang menari di lampu merah, di bawah terik matahari, dengan senyum yang dipaksakan. Senyum yang dulu ia pakai saat pura-pura kuat di depan Ibu.
Aku menatapnya lama. Ayah terus menari, menunduk setiap kali menerima uang receh dari pengendara, lalu mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Dan entah kenapa, di tengah rasanya sangat sakit, dan tidak percaya, aku menangis. Bukan karena aku malu punya ayah seperti itu, tapi karena aku sadar betapa kerasnya dunia memaksa seorang pria sekuat dia untuk menari di jalan demi keluarganya.
Malamnya, Ayah pulang dengan langkah lelah. Ia tersenyum kecil saat melihat aku di ruang tamu.
“Belum tidur, Nak?”
Aku menggeleng. Air mata sudah hampir tumpah.
“Ayah ... kerja di lampu merah, ya?”
Ayah terdiam lama.
Lalu ia menghela napas pelan.
“Maaf kalau Ayah bikin kamu malu. Tapi kerja sekarang susah. Ayah cuma nggak mau kamu dan Ibu kelaparan.”
Aku langsung memeluknya. Bau keringat dan debu jalanan menyengat, tapi rasanya hangat sekali.
“Aku nggak malu, Yah. Aku cuma... sakit hati lihat Ayah harus sejauh itu buat kami.”
Ayah tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca.
“Kalau kamu ngerti, itu aja udah cukup. Nggak semua orang bisa hidup dengan cara yang mereka mau. Tapi Ayah cuma pengin kamu tetap bisa sekolah, bisa jadi orang yang nggak perlu ngalamin ini.”
Malam itu aku menangis di bahu Ayah. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benar-benar mengerti arti kata berjuang.
Beberapa hari kemudian, aku melihat video di TikTok yang berjudul “ODGJ bertemu orang waras”. Di sana, seseorang merekam pria di pinggir jalan yang menari di lampu merah dengan tas kecil biru di punggungnya. Kolom komentar dipenuhi tawa, ejekan, dan cemooh. Tapi di antara ribuan orang yang menertawakan, hanya aku yang tahu kebenarannya “Orang waras” itu adalah Ayahku.
Seorang ayah dan suami yang rela mempermalukan dirinya demi anak dan istrinya bisa makan di rumah. Dan aku tahu, di negeri ini, di tengah ekonomi yang semakin mengkhawatirkan, masih banyak “Ayah” lain di luar sana yang berjuang dalam diam, menelan malu demi cinta yang tak pernah minta dibalas.
Mereka bilang orang itu gila. Tapi aku tahu, Ayahku cuma sedang berjuang di dunia yang makin gila, di negeri yang memaksa orang waras untuk mempermalukan dirinya demi bisa bertahan hidup.
Penulis: Khoir Nurul Hisan
Desainer: Ajeng Putri Yunita