Aksi Don't Gas Indonesia di Karawang: Hentikan Ekspansi Gas Fosil dan Kerusakan Masa Depan
Redaksi
Berita
08 Nov 2024

Don't Gas Indonesia regional Karawang bersama Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha), masyarakat sekitar, dan beberapa mahasiswa dari Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika), Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Horizon, dan Universitas Buana Perjuangan (UBP) menggelar aksi lingkungan terhadap ekspansi gas fosil di Cilamaya, Kamis (7/11/2024). Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara seperti Pakistan, India, dan Bangladesh juga melakukan aksi yang sama pada 7 November 2024.
Koordinator Kampanye Don't Gas Indonesia regional Karawang, Aditya Dwi Darmawan, menyatakan alasan dan tujuan aksi yang dilakukan tersebut.
“Sebenarnya aksi ini salah satu sequel rentetan dari kampanye kami, terhitung dari hari ini adalah kampanye kami yang ke-5 kalau tidak salah dan di kampanye kali ini mengangkat sebuah tema yang diajukan pada COP-28 di Turki tentang Global Day of Action Don't Gas the South dan Don't Gas Two Blocks. Jadi, bagaimana negara bagian utara itu harus bertanggung jawab kepada negara bagian selatan yang merasakan suffering yang merasakan penderitaan dari ekspansi serampangan energi yang sangat menyebarkan polusi ini,” ujarnya saat diwawancarai langsung, Kamis (7/11/2024).
Aksi ini dicetuskan oleh Non Government Organization (NGO) Internasional yang berfokus mengenai lingkungan yang berkaitan dengan energi.
“Don't Gas itu sebenarnya salah satu NGO Internasional dimulai dari di kawasan negara tengah, salah satunya Jepang. Dan mulai memperbesar sayapnya di regional daerah Indonesia dan lebih spesifik karena Don't Gas ini fokusnya adalah soal lingkungan yang berkorelasi langsung dengan sifat-sifat energik, jadinya ada juga yang berdiri di regional Karawang. Kebetulan juga ada Jawa Satu, salah satu penyebar efek energi yang destruktif,” jelas Adit.
Selain itu, Adit menambahkan bahwa terdapat kurang lebih 21 orang yang terlibat dalam aksi tersebut.
“Kurang lebih tadi kita ada 21 orang dan organisasi yang ikut itu ada dari Kruha dan dari Don’t Gas Asia, khususnya teman-teman pemuda yang terpelajar dari Karawang STMIK Horizon, Unsika, UBP. Jadi, kita cukup mengajak teman-teman muda untuk kenal isu lingkungan ini,” tambahnya.
Adit menyampaikan harapannya atas aksi yang dilakukan tersebut agar menumbuhkan masyarakat dan memunculkan tandingan utama kepada pemerintah internasional agar menentang energi gas yang dikatakan lebih baik.
“Yang pertama, kita mendekati radius yang cukup dalam di teritori Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa Satu, di mana kita juga ingin menumbuhkan perhatian masyarakat terhadap tempat mereka bekerja, salah satunya terkait tangkapan-tangkapan laut. Air yang mereka gunakan sehari-hari lambat laun akan terkontaminasi dengan adanya ekspansi dari energi-energi yang kotor. Itu yang pertama. Yang kedua, kita ingin ada tandingan arus utama mengenai bagaimana pemerintahan internasional menyusupkan satu semangat bahwa gas Liquefied Natural Gas (LNG) adalah salah satu solusi untuk energi yang lebih baik, padahal sebenarnya tidak. Kami ingin menandingi narasi arus utama yang sifatnya cukup anomali dan merusak energi terbarukan, karena energi yang menggunakan zat seperti LNG, seperti yang dipakai PLTGU saat ini untuk pembangkit tenaga listrik, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ekologi sosial dan demografi. Misalnya, tanah lumpur terangkat ke permukaan laut sehingga terjadi pendangkalan yang tidak alami, akibat ekspansi besar-besaran energi sejak adanya industri PLTGU. Yang ketiga, banyak mata pencaharian warga sekitar Jawa Satu ini hilang, mulai dari perairan untuk persawahan hingga tangkapan laut untuk para nelayan. Hal ini diperparah dengan adanya dampak dari lock-in, yaitu ketergantungan masyarakat pada produk yang dihasilkan oleh PLTGU Pertamina Jawa Satu.”
Peserta aksi, Asep Ubay Badilah, menyampaikan harapannya agar PLTGU ditutup agar tidak memberikan dampak terhadap lingkungan.
“Mudah-mudahan PLTGU ini cepat ditutup, supaya tidak mengakibatkan lumpur-lumpur yang naik ke permukaan tidak terus terulang yang mengakibatkan akan tercemar,” ujarnya saat diwawancarai langsung, Kamis (7/11/2024).
(DNL, LLJ, RVM)