Akhir dari Penghakiman: Pelecehan Seksual Bukan Salah Korban
Redaksi
Opini
15 Oct 2024

Penghakiman pada korban kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan psikologi yang semakin memperburuk trauma yang sudah mereka alami. Tindakan ini tidak hanya mengabaikan rasa sakit yang dirasakan korban, tetapi juga memperkuat budaya yang memaklumi perilaku pelaku. Pada dasarnya, pelecehan seksual adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan hal ini harus dilihat dari sudut pandang bahwa pelakulah yang sepenuhnya bersalah, bukan korban.
Fenomena menyalahkan korban atau yang sering disebut victim blaming, adalah masalah sismetrik yang telah tertanam dalam norma sosial. Masyarakat cenderung mencari alasan eksternal yang bisa dijadikan dalih untuk menjustifikasi perilaku, berdasarkan cara berpakaian atau keberadaan mereka di tempat tertentu. Pertanyaan seperti, “Mengapa berada di sana?” atau “Apakah pakaianmu memancing perhatian?” mengalihkan perhatian dari inti masalah yang sebenarnya; pelaku kejahatan seksual itu sendiri.
Padahal, pelecehan seksual terjadi karena dorongan pelaku untuk mendominasi, bukan karena stimulus yang dihasilkan oleh penampilan atau sikap korban.
Pelecehan seksual adalah tindakan kekerasan dan kekerasan ini tidak dibenarkan dalam keadaan apa pun. Korban akan sering kali mengalami trauma yang berkepanjangan akibat peristiwa tersebut. Mereka dihantui rasa bersalah yang seharusnya tidak mereka tanggung. Pengalaman trauma ini juga membuat mereka merasa malu atau takut untuk melapor, terutama ini juga membuat karena mereka tahu akan ada risiko disalahkan oleh orang lain. Fenomena ini tercermin dalam banyak kasus di mana korban justru disudutkan, dianggap sebagai pihak yang memicu terjadinya pelecehan (DW, 2021).
Pola pikir masyarakat sering kali berakar pada konsep bahwa perempuan harus selalu menjaga diri dan ketika mereka tidak sesuai dengan norma-norma yang dipaksakan, mereka dianggap pantas menjadi sasaran. Narasi semacam ini merendahkan martabat korban, karena menempatkan mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tindakan kriminal yang dilakukan orang lain. Tradisi ini tidak hanya menciptakan ketakutan, tetapi akan mendorong korban untuk memilih diam daripada melawan (UGM, 2023).
Korban sering kali mengalami sindrom trauma pasca-pelecehan yang disebut dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka berjuang menghadapi rasa malu, takut, dan kecemasan yang tak berkesudahan. Penghakiman dari orang-orang di sekitar mereka, termasuk keluarga dan teman, memperparah penderitaan ini. Akibatnya, banyak korban yang enggan melapor atau bahkan menarik laporan yang telah mereka buat (IJRS, 2023). Mereka merasa tekanan dari lingkungan terlalu berat untuk ditanggung, sehingga lebih memilih diam demi menghindari cemoohan atau stigma.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks pelecehan seksual harus dipahami sebagai tindakan yang tidak bergantung pada perilaku atau penampilan korban. Banyak kasus pelecehan terjadi pada korban yang berpakaian tertutup atau berada dalam situasi yang dianggap aman. Fakta ini menunjukkan bahwa tindakan pelecehan bukanlah reaksi terhadap rangsangan eksternal, melainkan perilaku yang berasal dari pelaku yang memiliki niat untuk melecehkan (DJKN, 2023).
Kita perlu membangun kesadaran masyarakat bahwa pelecehan seksual tidak pernah bisa dibenarkan, apapun kondisi yang melingkupinya. Menggarisbawahi pentingnya melindungi reputasi korban agar mereka dapat merasa aman untuk melapor tanpa rasa takut akan penghakiman. Perlindungan hukum harus difokuskan pada pemulihan korban, bukan justru menjadi medan pertempuran di mana korban harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.
Pada akhirnya, masyarakat memiliki peran penting dalam mengubah narasi ini. Alih-alih menanyai korban tentang tindakan atau penampilan mereka, kita harus menanyakan apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan budaya pelecehan ini. Ketika semua pihak mulai memahami bahwa pelecehan seksual adalah masalah pelaku, bukan korban, kita akan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua orang. Menghentikan penghakiman terhadap korban adalah langkah awal menuju dunia yang lebih manusiawi dan penuh empati.
Penulis: SNL
Desainer: IDN
Referensi:
DW. (2021, June 29). Hentikan ‘Tradisi’ Penghakiman Korban Pelecehan Seksual. DW. Retrieved from https://www.dw.com
Kanal Pengetahuan Psikologi. (n.d.). Dinamika Psikologis Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Mari Sadari dan Berempati! Retrieved from https://ugm.ac.id
IJRS. (2023, November 30). Pakar menjawab kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya. Retrieved from https://ijrs.or.id/2023/11/30/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-2/
DJKN. (2023). Kekerasan seksual pada perempuan: Salah siapa?. Retrieved from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pontianak/baca-artikel/16759/Kekerasan-Seksual-pada-Perempuan-Salah-Siapa.html
Faizah Q. A., Solehati, Benny P.. (n.d.). Hak reputasi korban kekerasan seksual. Retrieved from https://ejournal.upi.edu/index.php/sosietas/article/download/36089/15471
Tempo. (n.d.). Klinik hukum perempuan: Hak reputasi korban kekerasan seksual. Koran Tempo. Retrieved from https://koran.tempo.co/read/klinik-hukum-perempuan/484324/hak-reputasi-korban-kekerasan-seksual