Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) sedang hangat dengan isu yang beredar mengenai Peraturan Rektor untuk membatasi pengajuan insentif publikasi bagi dosen. Mengutip dari Haluan Nasional, banyak dosen merasa dirugikan karena mereka telah mengeluarkan biaya pribadi yang tidak sedikit untuk publikasi riset. Ironisnya, nilai insentif dari kampus seringkali lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan dosen untuk publikasi. 

 

Untuk itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unsika, Dayat Hidayat, menanggapi isu yang beredar tersebut. Menurutnya, insentif merupakan bonus, sudah sewajarnya jika dana yang diberikan lebih kecil daripada biaya untuk publikasi. 

 

Kan namanya insentif, kita memberi reward, bonus lah istilahnya kepada dosen. Nah memang sebaiknya, dosen itu mengukur bahwa insentif itu ada sekian, berarti ya wajar dong?,” jelasnya saat diwawancarai pada Senin, (17/11/2025).

 

Mengutip kembali dari Haluan Nasional, terdapat pula informasi bahwa salah satu dosen membayar sekitar Rp56 Juta untuk satu publikasi jurnal open access internasional. Dayat ikut menanggapi bahwa sebetulnya terdapat publikasi internasional yang tidak berbayar. Justru menurutnya itu lebih bagus karena dosen publikasi secara gratis, tetapi juga mendapat bonus. 
 

“Harus diketahui juga bahwa publikasi di internasional itu tidak harus berbayar, banyak juga yang gratis. Kalo dosennya sebenernya mau yang gratis kan lebih bagus biar gratis, tapi juga dikasih bonus,” pungkasnya.

 

Dalam artikel Haluan Nasional, terdapat dugaan dengan alasan efisiensi, pihak Universitas sengaja memperketat pemberian insentif, sekaligus menambah syarat administratif yang menyulitkan dosen. Dugaan in dibantah oleh Dayat. Ia membantah bahwa memang betul ada situasi efisiensi, tetapi bukan besaran insentif yang berkurang, melainkan jumlah orang penerima insentif dipangkas. 

 

“Bukan besaran insentifnya, tapi itu mah total anggaran LPPM, tahun anggaran 2025 memang berkurang karena ada efisiensi. Tahun kemarin kita 700 sekarang hanya 408 juta. Tahun lalu memang sampai 700 seperti itu, tapi tetep tahun lalu 700 artinya bukan orang yang nambah dapet duitnya, tapi jumlahnya orangnya,“ ucapnya menjelaskan.

 

Tak hanya itu, ia juga menjelaskan bahwa tahun lalu memang terdapat masukan oleh Inspektorat Jenderal (Irjen) yang mengharuskan pihak kampus memenuhi syarat-syarat administratif. Salah satunya, pelaporan penelitian setelah menyusun artikel kemudian dimuat di jurnal. 

 

“Tahun lalu kita diberi masukan dengan Irjen, harus ada laporan penelitiannya, bukan sekedar menyusun artikel dan dimuat di jurnal. Ini kan katanya hasil penelitian, mana hasil penelitiannya, nah maka tahun ini kita melengkapi syarat syarat itu,” terangnya. 

 

Ia menerangkan bahwa artikel dapat diklaim dalam berbagai macam kepentingan dosen, seperti kenaikan pangkat, penilaian kinerja dan juga insentif. Dayat justru berasumsi kemungkinan dosen yang mengeluh adalah dosen yang orientasi publikasi artikelnya untuk mencari insentif. 
 

“Karena kan artikel itu dia bisa diklaim dalam berbagai macam kepentingan dosen, bisa sebagai kenaikan pangkat, bisa sebagai mungkin penilaian kinerja dan bisa juga sebagai insentif tadi. Nah makanya itu sebenarnya, kalau dosen ngeluh ya itu wajar, kalau memang dosen itu orientasinya nyari uang. sekedar nyari uang, artinya nyari intensif gitu,” asumsinya. 

 

Tangakapan layar Peraturan Rektor Unsika Pasal 26 Nomor 27 Tahun 2025.

 

Lebih jauh, Dayat turut menegaskan bahwa Peraturan Rektor Tahun 2025 tidak mengurangi hak dosen, melainkan menata ulang skema agar lebih adil dan tepat sasaran. Jika tahun sebelumnya dosen dapat mengajukan dua insentif dengan kategori yang sama. Aturan baru ini diterapkan untuk mencegah ketimpangan sekaligus membuka kesempatan yang lebih merata bagi dosen lainnya.

 

“Jadi sekarang satu dosen memperoleh dua insentif, tapi dalam skema yang berbeda, gak boleh jurnal dua-duanya, misal satu jurnal, satu buku. Ini dilakukan sebenarnya dengan prinsip keadilan, jangan sampe semuanya di jurnal gitu maksudnya karena ini sifatnya bonus dan kita ingin menerapkan prinsip keadilan, pemerataan, maka dibagi,” katanya.

 

Di sisi lain, LPPM juga memperketat proses verifikasi untuk memastikan kebenaran klaim kualitas jurnal yang diajukan dosen. Hal tersebut dilakukan karena pada tahun sebelumnya terdapat kasus dosen yang mengklaim publikasi internasional, namun setelah ditelusuri, jurnal tersebut tidak terindeks sesuai klaim.

 

“Kita timnya pun 7 orang dari LPPM 5 (orang), LP3M (Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat) 2 (orang), bahkan Pak Warek 1 (Wakil Rektor Bidang Akademik) bisa menjadi ketua reviewverifikator sekarang namanya, jadi bukan hanya LPPM saja, itu perbedaan kalau tahun sekarang kita melibatkan unit lain, sebagai menjamin mutu, menjaga kredibilitas, menghindari subjektivitas,” ujarnya.

 

Dayat pun memberikan harapannya, bahwa mulai tahun ini dosen wajib memiliki laporan penelitian apabila akan melakukan publikasi.

 

Nah makanya, mulai tahun ini, kita mewajibkan dosen, bagi yang melakukan publikasi, akan harus ada laporan penelitian, hasil penelitiannya dibuktikan dengan ada laporan hasil penelitian,” tutupnya.

 

(SAN, NSK)

Desainer: Deviana Cahya Lestari

 

Sumber Referensi

Haluan Nasional. 21 Oktober 2025. Sengkarut Transparansi Kebijakan Insentif Publikasi di Unsikahttps://www.haluannasional.com/2025/10/21/sengkarut-transparansi-kebijakan-insentif-publikasi-di-unsika/