16 HAKTP dan Tantangan Perlindungan Hak Perempuan di Indonesia

Redaksi
Esai
11 Dec 2024
Thumbnail Artikel 16 HAKTP dan Tantangan Perlindungan Hak Perempuan di Indonesia
Perempuan perempuan di dunia kini tengah melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) atau dalam istilah yang lebih global disebut 16 Days of Activism Against Gender Violence. Peringatan ini rutin digelar tiap tahun dalam jangka waktu 25 November-10 Desember sejak pertama kali kampanye ini dicanangkan pada 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute. Setiap tahunnya kampanye ini mengangkat isu yang berbeda, tahun ini Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengusung tema "Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan". 

16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ini dimulai sejak tanggal 25 November, tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang sudah disahkan oleh PBB terlebih dahulu. Tanggal tersebut tidak dipilih secara acak, namun berkaitan dengan gugurnya perempuan-perempuan yang melakukan perlawanan terhadap diktator paling represif di Amerika Latin.

Patria, Minerva, dan María Teresa Mirabal adalah 3 orang aktivis perempuan yang menentang rezim diktator Rafael Trujillo di Republik Dominika pada era 1950-an hingga awal 1960-an. Mirabal bersaudara tidak hanya aktif menyampaikan gagasan nya di khalayak umum, namun mereka turut mendirikan kelompok yang menentang rezim Trujillo secara terorganisir. Nahas, perlawanan yang mereka lakukan hanya bertahan 6 tahun setelah berkali kali dijebloskan ke penjara. Mirabal bersaudara tewas dibunuh oleh rezim yang berkuasa saat itu. Kematian mereka awalnya dilakukan untuk mengintimidasi kelompok kelompok yang menentang, namun alih alih diam, rakyat yang jengah akhirnya memberontak dan menurunkan diktator Rafael Trujillo. Patria, Minerva, dan María Teresa akhirnya dijuluki Las Mariposas.

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini telah berlangsung selama 33 tahun, isu kesetaraan gender telah ramai digaungkan dimana mana. Namun pada prakteknya, masih banyak perempuan perempuan yang mengalami kekerasan dan suaranya tidak terdengar. Isu kekerasan seksual di lingkungan terpelajar sudah seperti rahasia umum. Bahkan korban sering kali dianggap memiliki andil pada saat peristiwa tersebut terjadi. 

Terdapat sebuah kasus kekerasan seksual yang akhir akhir ini ramai dibicarakan oleh khalayak umum, yaitu mengenai kekerasan seksual yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Makassar. Kasus KS tersebut dilakukan oleh seorang Pengajar pada Mahasiswi nya. Warganet menyoroti sikap yang diambil oleh pihak Universitas yang hanya menjatuhkan skorsing 2 Semester sebagai bentuk hukuman pada tersangka, sedangkan korban mengalami trauma seumur hidup.

Selain itu, salah satu oknum Satgas PPKS atau Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang seharusnya berperan sebagai satuan yang memerangi kekerasan seksual di lingkungan kampus justru menyampaikan statement yang terkesan menghakimi korban dan membela tersangka. Kalimat “Bayangkanmi kalau ada sk bgininya yg bersangkutan tdk bisami naik jabatan”, disampaikan kepada korban dalam sebuah pesan WhatsApp tanpa memikirkan trauma yang dialami oleh korban. Ucapan yang disampaikan oknum tersebut tentu saja mengangkangi tema Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu "Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan". 

Ironis bagaimana sebuah satuan tugas yang seharusnya berperan aktif dalam melaksanakan tema tersebut justru tidak berpihak pada korban. Beberapa satgas PPKS di Perguruan Tinggi juga lebih sering memihak pada tersangka dengan dalih waktu yang telah ditempuh tersangka untuk studi akan sia-sia, seolah-olah menyepelekan trauma yang dialami korban. Bila Pencegahan dan Penanganan nya saja mengeluarkan statement seperti itu, maka mengapa kita masih bingung melihat masyarakat umum masih menganggap perempuan yang memiliki pengalaman terhadap kekerasan seksual sebagai aib yang harus disembunyikan?

Buntut dari kasus kekerasan seksual tersebut menciptakan letupan perlawanan yang didominasi oleh perempuan. Mahasiswa Perguruan Tinggi tersebut mengadakan aksi perlawanan, yang berujung pada penangkapan puluhan mahasiswa oleh aparat. Seperti Mirabal bersaudara yang kematian nya menyebabkan revolusi di Republik Dominika dan menciptakan aksi aksi perlawanan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kampanye telah berlangsung lebih dari tiga dekade, kesetaraan gender dan keadilan bagi korban kekerasan masih membutuhkan perjuangan yang berkelanjutan.

Penulis: INA dan NJ
Desainer: IDN

LPM Channel

Podcast NOL SKS